Kamis, 31 Juli 2014

Keutamaan dan manfaat puasa enam hari di bulan Syawwal



Keutamaan dan manfaat puasa enam hari di bulan Syawwal

Suasana bahagia dalam perayaan hari raya idul fithri tidak perlu melalaikan umat Islam dari menjaga kontinuitas amal mereka. Itulah pesan yang diangkat oleh para khatib pada khutbah di hari Jum’at pertama di bulan Syawal ini. Shaum Ramadhan yang telah ditunaikan selama sebulan penuh tidak menutup kemungkinan memiliki berbagai kekurangan. Untuk itu, shaum sunah selama enam hari di bulan Syawal adalah salah satu amalan utama untuk menyempurnakan pahalanya.
Anjuran melaksanakan shaum sunah selama enam hari di bulan Syawal dijelaskan dalam hadits berikut ini.

عَنْ  أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Dari Abu Ayyub Al-Anshari RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan kemudian ia lanjutkan dengan melakukan shaum enam hari di bulan Syawwal, maka seakan-akan ia melakukan shaum setahun penuh.”(HR. Ahmad, 5/417, Muslim no. 1164, Abu Daud no. 2433, At-Tirmidzi no. 759, dan Ibnu Majah no. 1716)

Keutamaan shaum sunah enam hari bulan Syawwal
Hadits di atas menjelaskan bahwa pahala shaum Ramadhan bila dilanjutkan dengan pahala shaum enam hari di bulan Syawwal adalah seperti pahala shaum satu tahun penuh. Dalam hadits lain dijelaskan lebih lanjut bahwa hal itu dikarenakan setiap amal kebajikan dilipat gandakan (minimal) sepuluh kali.

عَنْ ثَوْبَانَ، مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ أَنَّهُ قَالَ ‏:‏ مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ ‏{مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا}‏ ‏‏

Dari Tsauban RA maula Rasulullah SAW dari Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa melakukan shaum enam hari setelah idul fitri maka shaumnya menjadi sempurna satu tahun penuh. Allah berfirman, ‘Barangsiapa melakukan sebuah kebajikan maka baginya balasan sepuluh kali lipatnya.’ (QS. Al-An’am (6): 160)” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 2861 dan Ibnu Majah no. 1715) 

Dalam riwayat Ad-Darimi dengan lafal,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةٍ

Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan maka satu bulan bulan (shaum Ramadhan) semisal dengan sepuluh bulan, dan shaum enam hari setelah idul fitri menjadikannya sempurna satu tahun.” (HR. Ad-Darimi no. 1755)

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dengan lafal,
صِيَامُ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ السِّتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ، فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ  ‏

Shaum Ramadhan itu sebanding dengan shaum sepuluh bulan, dan shaum enam hari Syawal itu sebanding dengan shaum dua bulan. Maka genaplah seperti shaum setahun penuh.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2115)

Manfaat shaum sunah enam hari di bulan Syawwal
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali menerangkan beberapa manfaat shaum enam hari di bulan Syawwal, yaitu sebagai berikut:
  1. Shaum enam hari di bulan Syawwal menggenapkan pahala shaum Ramadhan menjadi pahala shaum satu tahun penuh.
  2. Kedudukan shaum sunah di bulan Sya’ban dan Syawwal terhadap shaum Ramadhan adalah seperti kedudukan shalat sunah Rawatib (qabliyah dan ba’diyah) terhadap shalat wajib lima waktu. Shaum sunah tersebut menyempurnakan kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan shaum wajib Ramadhan.
  3. Melakukan shaum kembali seusai melaksanakan shaum Ramadhan merupakan pertanda diterimanya shaum Ramadhan seorang hamba. Jika Allah SWT menerima amal shalih seorang hamba, maka Allah SWT akan memberi petunjuk kepada hamba tersebut untuk melakukan amal shalih lainnya. Sebagaimana sering dikatakan oleh para ulama, “Balasan bagi sebuah amal kebajikan adalah amal kebajikan lainnya.” Barangsiapa melakukan amal kebajikan lalu ia lanjutkan dengan amal kebajikan lainnya, maka hal itu menjadi pertanda amal kebajikan pertamanya telah diterima dan diberkahi oleh Allah. Adapun jika amal kebajikan diikuti oleh amal keburukan, maka hal itu adalah sinyal buruk tertolaknya amal kebajikan tersebut.
  4. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits shahih, shaum Ramadhan yang dilakukan atas dasar iman dan mengharap balasan di sisi Allah semata akan menghapus dosa-dosa kecil yang telah lalu. Pada hari idul fitri, Allah menyempurnakan pahala bagi orang-orang yang shaum. Maka shaum enam hari di bulan Syawwal adalah wujud dari syukur kepada Allah atas dua nikmat besar tersebut; (a) nikmat shaum Ramadhan yang penuh berkah dan maghfirah dan (b) nikmat balasan pahala di hari idul fithri. Allah SWT telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat shaum Ramadhan dengan mengumandangkan dzikir, takbir, dan bentuk-bentuk syukur lainnya. Allah SWT berfirman,
{وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}

Hendaklah kalian menyempurnakan bilangan (bulannya) dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepada kalian dan agar kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah (2): 185)

Sebagian ulama salaf apabila diberi nikmat mampu melaksanakan shalat tarawih dan witir di malam  hari, maka mereka mengungkapkan wujud syukur atasnya dengan melakukan shaum sunah di siang harinya.
Seorang ulama yang shalih, Wuhaib bin Ward pernah ditanya tentang pahala amal kebajikan seperti thawaf dan lainnya, maka ia menjawab, “Janganlah kalian bertanya tentang pahalanya! Namun tanyakanlah kewajiban bersyukur atas orang yang melakukan amal kebajikan tersebut, karena Allah telah memberinya taufik dan pertolongan untuk mampu beramal kebajikan.”
Setiap nikmat Allah kepada seorang hamba baik dalam urusan agama maupun dunia menuntut adanya rasa syukur. Adanya taufik dari Allah kepada seorang hamba untuk mensyukuri nikmat tersebut juga merupakan sebuah nikmat tersendiri yang harus disyukuri. Dan taufik dari Allah untuk mensyukuri nikmat kedua ini adalah nikmat tersendiri pula yang wajib disyukuri. Maka, selamanya seorang hamba tidak akan mampu mengungkapkan rasa syukurnya secara sempurna kepada Allah. Pada hakekatnya, syukur adalah pengakuan seorang hamba atas ketidak mampuannya untuk menghitung dan mensyukuri seluruh nikmat Allah kepadanya. 

Beberapa hukum yang berkaitan dengan shaum enam hari bulan Syawwal:

Pertama; Dianjurkan segera melaksanakan shaum enam hari di bulan Syawwal selama tidak ada udzur syar’i, karena hal itu termasuk bagian dari bersegera melaksanakan amal kebajikan. Sebagaimana firman Allah SWT,

( وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ)

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Ali Imran (3): 133)

( سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاء وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاء وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ)

“Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid (7): 21)

Kedua; Shaum enam hari di bulan Syawwal boleh dikerjakan secara berturut-turut, boleh juga dilaksanakan secara terpisah-pisah. Hal itu karena Nabi SAW menyebutkan shaum tersebut secara mutlak tanpa menyebutkan tata cara pelaksanaannya secara berturut-turut atau terpisah-pisah. Maka selama shaum tersebut dikerjakan selama enam hari di bulan Syawal, niscaya keutamaan yang disebutkan dalam hadits telah diraih oleh seorang hamba.

Ketiga; Jika pada sebuah tahun seorang muslim melaksanakan shaum enam hari di bulan Syawwal, maka ia tidak wajib mengerjakan shaum enam hari di bulan Syawwal pada tahun lainnya. Meski demikian, dianjurkan untuk mengerjakannya secara rutin setiap bulan Syawal pada setiap tahun, berdasar keumuman hadits,

أَحَبُّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang paling rutin walau kadarnya sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA)

Keempat; Shaum enam hari di bulan Syawwal dan shaum sunah lainnya yang waktunya tertentu (Senin dan Kamis, ‘Asyura, Arafah) haruslah disertai oleh niat shaum di waktu malam. Berdasar hadits,

عَنْ حَفْصَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ :‏ مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ 

Dari Hafshah RA dari Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa tidak berniat untuk shaum sebelum terbit fajar maka tiada shaum baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmidzi no. 730, An-Nasai, 4/196 dan Ibnu Majah no. 1700)

Adapun shaum sunah secara mutlak yang tidak ditentukan waktunya, maka tidak wajib berniat sebelum terbit fajar. Niat shaum boleh dilakukan setelah Shubuh sampai pertengahan hari. Demikian pendapat imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad.

Hal ini berdasar hadits dari Aisyah RA berkata, “Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk ke rumah menemuiku  dan bertanya, ‘Apakah engkau memiliki suatu makanan?’ Aku menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Kalau begitu aku akan shaum.” Pada hari yang lain, beliau datang kepada saya maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini telah dihadiahkan kepadaku hais (bubur campuran tepung, minyak samin, dan kurma).” Beliau bersabda, “Tunjukkan kepadaku! Aku tadi sedang shaum.” Maka beliau pun makan. (HR. Muslim no. 1451)

Adapun imam Malik, Laits bin Sa’ad, dan Ibnu Hazm berpendapat baik shaum fardhu maupun shaum sunah, shaum sunah yang ditentukan waktunya (muqayyad) maupun shaum sunah yang tidak ditentukan waktunya (mutlak); wajib disertai niat shaum sebelum terbit fajar, berdasar keumuman hadits Hafshah RA.

Kelima; Apabila seorang muslim mampu menyelesaikan shaum enam hari di bulan Syawwal, maka itu lebih utama. Namun apabila ia tidak mampu mengerjakannya secara sempurna enam hari, maka ia tidak berdosa.
Hal ini berdasar hadits dari Aisyah RA berkata, “Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk ke rumah menemuiku  dan bertanya, ‘Apakah engkau memiliki suatu makanan?’ Aku menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Kalau begitu aku akan shaum.” Pada hari yang lain, beliau datang kepada saya maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini telah dihadiahkan kepadaku hais (bubur campuran tepung, minyak samin, dan kurma).” Beliau bersabda, “Tunjukkan kepadaku! Aku tadi sedang shaum.” Maka beliau pun makan. (HR. Muslim no. 1451)

Juga berdasar hadits dari Abu Juhaifah bahwa Abu Darda’ dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW dengan Salman Al-Farisi. Setiap kali Salman Al-Farisi berkunjung kepada Abu Darda’, didapatinya Abu Darda’ sedang shaum sunnah. Maka Salman menolak menyentuh suguhan makanan sampai Abu Darda’ mau ikut makan. Terpaksa Abu Darda’ makan dan membatalkan puasanya. Abu Darda’ juga semalam suntuk melakukan shalat malam. Maka Salman menyuruhnya tidur lalu bangun di akhir malam. Salman menaseatinya, “Sesungguhnya Rabbmu punya hak atas dirimu, badanmu punya hak atas dirimu, dan keluargamu punya hak atas dirimu. Maka berikanlah kepada setiap pihak haknya masing-masing.” Abu Darda’ RA dating kepada Nabi SAW dan menceritakan peristiwa itu, maka Nabi SAW bersabda, “Salman sudah berbuat benar.” (HR. Bukhari no. 1968)

Dalam hadits lain dijelaskan,

( الصائم المتطوع أمير نفسه إن شاء صام وإن شاء أفطر)

Orang yang melakukan shaum sunnah itu lebih berkuasa atas dirinya sendiri. Jika mau maka ia melakukan shaum dan jika ia mau maka ia boleh tidak melakukan shaum.” (HR. Imam Tirmidzi no. 733, An-Nasai dalam As-sunan Al-Kubra no. 3302, dan Ahmad 6/341. An-Nawawi berkata: Sanadnya bagus)

Keenam; Jika seseorang melakukan shaum sunah di bulan Syawwal namun belum genap enam hari, atau shaumnya batal di tengah pelaksanaan shaum tersebut; maka ia tidak wajib menggantinya setelah Syawwal. Berdasar keumuman tiga hadits  dalam penjelasan no. 5 di atas.
  
Ketujuh; Jika seorang muslim memiliki hutang shaum Ramadhan, maka lebih utama ia membayar hutang shaum Ramadhan terlebih dahulu baru kemudian melaksanakan shaum enam hari di bulan Syawal. Sebab, shaum yang wajib lebih utama untuk didahulukan atas shaum yang sunah.

Kelapan; Para ulama berbeda pendapat tentang seseorang yang melaksanakan shaum enam hari di bulan Syawal terlebih dahulu padahal ia belum membayar hutang shaum Ramadhan.
  1. Sebagian ulama menyatakan zhahir hadits Abu Ayub Al-Anshari menunjukkan bahwa pahala seperti shaum setahun hanya diperuntukkan bagi orang yang melakukan shaum Ramadhan dan shaum enam hari di bulan Syawal. Mafhum (makna tersirat)nya), jika ia memiliki hutang shaum  Ramadhan dan tidak ia bayar terlebih dahulu, maka ia tidak akan mendapatkan janji pahala shaum setahun tersebut meski ia menunaikan shaum enam hari di bulan Syawal. Pendapat ini dipegangi oleh imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj bi-Syarhil Minhaj dan imam Ibnu Muflih Al-Hambali dalam kitabnya Al-Furu’. Pendapat ini diikuti oleh sejumlah ulama kontemporer, di antaranya syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz dan syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
  2. Sebagian ulama menyatakan apabila seseorang memiliki hutang shaum Ramadhan karena udzur seperti sakit keras, haidh, atau safar; lalu ia melakukan shaum enam hari di bulan Syawal sebelum membayar hutang shaum Ramadhannya, maka ia tetap mendapat pahala shaum setahun penuh. Alasannya, orang yang tidak melakukan shaum Ramadhan selama beberapa hari karena udzur-udzur syar’i di atas dalam syariat dan kebiasaan luas yang berkembang di masyarakat (‘urf) juga disebut melakukan shaum Ramadhan. Pendapat ini disebutkan oleh imam Al-Bujairimi Asy-Syafi’i dalam kitabnya, Hasyiyah ‘alal Jamal dan imam Muflih Al-Hambali dari sebagian ulama madzhab Hambali dalam kitabnya, Al-Mubdi’.
Seperti dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Abdullah bin Shalih Al-Habdan, pendapat yang kedua lebih dekat kepada kebenaran. Pendapat kedua lebih sesuai dengan dalil syar’i dan kaedah-kaedah syari’at. Sesungguhnya keutamaan shaum Ramadhan yang sama nilainya dengan shaum sepuluh bulan bukan hanya berlaku bagi orang yang melaksanakan shaum Ramadhan secara langsung sebulan penuh tanpa memiliki hutang. Keutamaan tersebut berlaku bagi setiap muslim yang menyempurnakan shaum Ramadhan baik secara langsung satu bulan maupun bagi orang yang membayar hutang beberapa hari shaum Ramadhannya karena ia memiliki udzur syar’i.

 Sementara Allah SWT sendiri telah memberi kelonggaran waktu pembayaran hutang shaum Ramadhan bagi orang-orang yang memiliki udzur syar’i. Hutang shaum boleh dibayar pada waktu lain selama sebelas bulan sebelum datangnya Ramadhan berikutnya, seperti ditunjukkan oleh keumuman isim nakirah dalam konteks syarat (فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ pada hari-hari yang lain). Hutang shaum tersebut tidak harus dibayar langsung pada bulan Syawwal. 

Allah SWT berfirman,
﴿ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ﴾

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya mengganti shaum), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah (2): 185)

Berbeda halnya dengan shaum enam hari di bulan Syawwal, harus dilakukan di bulan Syawal. Jika telah lewat bulan Syawwal, maka keutamaan pahala yang dijanjikan juga tidak berlaku lagi. Oleh karenanya, sesuai ayat Al-Qur’an di atas dan ayat-ayat lainnya, orang yang melakukan shaum enam hari di bulan Syawwal akan tetap mendapatkan pahalanya, meskipun ia belum membayar hutang shaum Ramadhannya.
Pahala shaum setahun penuh akan tetap ia dapatkan, karena tidak ada dalil syar’i yang menyatakan hilangnya pahala tersebut atas orang yang belum membayar hutang shaum Ramadhannya. Argumen pendapat pertama tentang gugurnya pahala tersebut bagi orang yang belum membayar hutang shaum Ramadhan adalah mafhum (makna tersirat) hadits Abu Ayub Al-Anshari, dan pemaaman mafhum tersebut gugur dengan adanya manthuq (makna tersurat) dari ayat Al-Qur’an. 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rabu, 16 Juli 2014

Cerita Dari Sahabat Nabi Umar bin Khattab



Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza atau lebih dikenal dengan Umar bin Khattab (581 - November 644) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad S.A.W. yang juga adalah khalifah kedua Islam (634-644). Umar juga merupakan satu di antara empat orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang diberi petunjuk atau yang sering disebut sebagai Khulafaur Rasyidin (sumber : Wikipedia)
 
Sebelum Umar masuk Islam, Rasulullah pernah berdoa,
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam”.
 
Dan ternyata doa Rasulullah diijabah Allah, SWT dengan masuk Islamnya Umar bin Khattab.
 
Umar bin Khattab adalah seorang yang terkenal kuat, tegas dan berbadan tinggi besar. Hingga cukup ditakuti oleh kaumnya. Umar sempat bersikap kasar kepada kaum muslimin sebelum Umar masuk islam. Meski perangainya yang buruk ketika dalam kekafiran namun Allah berkehendak lain, ternyata Allah memilih Umar untuk membantu Rasulullah dalam perjuangan dakwah yang begitu sulit. Sehingga Umar masuk Islam dan berkorban jiwa dan harta untuk kemenangan dakwah.
 
Selain itu Umar juga adalah sosok yang jujur dan cerdas, hal ini terbukti ketika harus mendapatkan pelajaran atau pengajaran dari Rasulullah tentang Islam, beliau yang karena  kesibukannya, beliau menerapkan sistem bergiliran ke majelis Rasulullah Saw. Bagi yang datang ke majelis Rasulullah mengajarkan kepada yang tidak datang. Sehingga beliau tetap dapat mempelajari Islam meskipun tidak datang ke majelis Rasulullah.
 
Di masa kepemimpinan beliau banyak sekali hikmah yang dapat diambil serta dijadikan tolok ukur bagi kita yang ingin menjadi pemimpin yang ideal. Umar merupakan pribadi yang teguh pada prinsip terutama terhadap aturan-aturan Islam. Prinsip yang selalu dipegangnya yaitu :
  1. Bila engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya.
  2. Bila engkau hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
  3. Bila engkau hendak memuji seseorang, pujilah Allah. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain Allah.
  4. Jika engkau ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia. Sebab apabila engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
  5. Bila engkau bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati. Karena jika engkau tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi ,dan penuh penyesalan.
  6. Bila engkau ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali dengan mencarinya.
Dengan prinsip-prinsip yang dipegan beliau tersebut selalu menjadi pedomannya di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan, terutama di dalam menjalankan pemerintahannya selama menjadi khalifah. Seorang Umar yang pemberani dan keras, sehingga ditakuti dan disegani baik kawan maupun lawan, hanya takut pada satu hal yaitu melanggar aturan Islam. Oleh karena itu Umar selalu berhati-hati di dalam kepemimpinannya, jangan sampai ia berlaku tidak adil dan mendzalimi rakyatnya.
 
Disamping ia bekerja dari pagi hingga petang untuk urusan negeri, di malam hari setelah Shalat Isya beliau selalu berkeliling untuk melihat kondisi kota, jalan-jalan, serta lingkungan sekitarnya, apakah pembangunan maupun lingkungan yang berada di wilayah negerinya telah berjalan dengan baik atau tidak. Beliau seringkali berkeliling dalam keadaan menyamar, agar penduduk tidak dapat mengenalinya dan tidak memberikan perlakuan khusus terhadapnya. Selain untuk  bersilaturahmi, ia akan selalu bertanya kepada mereka, apakah selama pemerintahan Umar telah berlaku adil atau tidak. Apabila di dalam penyelidikannya menemukan ketimpangan atau ketidak adilan, maka keesokan harinya ia akan segera menanggapi hal tersebut.
 
Dengan melakukan peninjauan langsung tersebut, ia dapat melihat kinerjanya sebagai pemimpin, maupun kinerja pegawainya di dalam menyalurkan zakat maupun pelaksanaan pembangunan. Jika ia menemukan kesalahan pada peraturan yang ia buat, maka peraturan itu akan langsung diperbaiki dengan yang lebih baik, sedangkan jika kesalahan yang ditemukan merupakan kesalahan bawahannya, beliau akan langsung memberikan teguran, bila perlu ia akan menghukum bawahannya apabila kesalahan tersebut dianggap fatal bila terkait dengan kemaslahatan umat.
 
Pernah pada suatu ketika Umar bin Khatab bersama sahabat sekaligus ajudannya yang bernama Aslam, berjalan diwaktu mendekati tengah malam saat meninjau kotanya, Umar mendengar tangisan anak-anak. Ia pun mencari dan berhenti di rumah dimana ia mendengarkan tangisan anak-anak tersebut. Umar pun mengetuk pintu rumah itu, dan tak lama pemilik rumah yang ternyata seorang wanita membukakan pintu. Lalu Umar mengucapkan salam dan Tuan rumah menjawab salamnya.
 
Umar memperkenalkan dirinya sebagai seorang pengembara yang ingin bertamu untuk menumpang beristirahat sebentar dan akan melanjutkan perjalanannya kembali. Mendengar hal tersebut, sang pemilik rumah pun mempersilahkannya, ia lalu“Jika Tuan ingin bertamu, silahkan saja. Tetapi saya hanya dapat memberikan ada minuman saja, tetapi tidak ada makanan yang dapat saya berikan, karena kami sangat miskin”. Umar pun menjawab, “tidak apa-apa, saya hanya menumpang duduk sebentar saja untuk melepas penat”.
 
Tangis sang anak terus terdengar dan mengusik hatinya untuk bertanya. Umar pun berkata, “anak-anak itu menangis karena apa?”. Wanita itupun berkata, “Anak-anak itu lapar, sepanjang hari belum ada maka, mereka sedang menunggu saya yang sedang memasak”. Umar pun memperhatikan panci yang dipergunakan wanita itu, dan merasakan ada keanehan, dan ia pun bertanya “apa yang anda masak, sepertinya tak lazim untuk kulihat?”. “Saya sedang memasak batu”. Umar pun terkejut lalu bertanya”untuk apa anda memasak batu itu, bukankah itu tidak dapat dimakan?”. Wanita itu pun menjawab, kami ini sangat miskin dan saat ini tidak punya apa-apa. Gandum sudah habis, tidak ada lagi yang mau dimasak. Saya terpaksa memasak batu ini untuk menghibur anak-anak, sehingga anak itu tertidur. Selama ini, Umar sang Amirul Mukminin, hanya sibuk terhadap urusannya, ia tidak mau memperhatikan rakyatnya secara langsung”.
 
Mendengar ucapan wanita itu, Aslam ingin memberi tahukan bahwa yang datang adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Akan tetapi Umar langsung menahan sebelum Aslam menjelaskan hal tersebut. Umar langsung minta diri kepada sang ibu untuk melanjutkan perjalanannya. Seketika Umar sambil menitikkan air mata langsung berjalan dengan sangat terburu-buru malam itu juga menuju gudang penyimpanan bahan makanan di baitul maal (rumah zakat). Dan langsung memikul karung besar berisikan gandum dan seember daging untuk dibawa menuju rumah tadi.
 
Aslam yang melihat Umar memikul karung yang cukup berat, ia meminta agar Umar menyerahkan kepadanya untuk dipikul. Mendengar hal itu Umar menolak, dan berkata dengan nada keras “Ini adalah tanggung jawab dan dosaku, sudah sepantasnya aku memikulnya dan membawanya sampai ke tujuan. , jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Mungkin saat ini engkaubisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan di muka Allah kelak? Padahal aku tidak akan sanggup memikul hukumanku pada saat itu” Aslam pun terdiam dan hanya bisa melihat Umar memikul karung dan memegang ember berisi daging tadi dengan nafas yang terengah-engah sampai ke rumah tadi hanya berjalan kaki.
 
Sesampainya Umar di depan rumah wanita itu, ia pun mengetuk pintu lalu menyampaikan bahwa ia membawakan gandum dan daging untuk diberikan padanya. Sang wanita pun menangis karena terharu dan berterima kasih, ia mempersilahkan Umar dan ajudannya untuk masuk dan ketika akan mengambil barang bawaan Umar, Umar pun berkata, “biarkan aku yang memasakkannya untuk kalian semua, karena sesungguhnya kamu telah kelelahan dari pagi hingga malam ini belum juga makan” lalu Umar pum memasak gandum dan daging tersebut untuk mereka. Setelah semuanya masak, sang ibu pun membangunkan anaknya untuk segera makan. Anak-anak itu langsung makan dengan lahapnya karena mereka benar-benar lapar. Tak lama setelah selesai makan, anak itu kembali tertidur dalam keadaan perut sudah kenyang.
 
Dengan penuh suka cita sang wanita kembali mengucapkan terima kasihnya kepada Umar, dan berkata “sungguh mulianya hati tuan, telah membawakan gandum kepada kami. Dan bolehkah saya bertanya, siapakah nama tuan”, Umar pun menjawab, “Namaku Umar Bin Khatab dan ini sahabatku Aslam”. Serta merta wanita itu terkejut dan meminta maaf “Maafkan saya wahai Amirul Muknimin karena telah lancang kepada anda”. “Anda tidak perlu meminta maaf, karena kesalahan pada saya dan seharusnya saya yang meminta maaf kepada anda” ujar Umar.
 
Tak lama Umar pun permisi untuk pulang. Dan keesokan harinya ia memanggil bawahannya yang mengurus wilayah tempat tinggal wanita tadi, lalu memberikan teguran kepada mereka agar lebih teliti dalam mendata masyarakat, jangan sampai ada yang terlewatkan. Sehingga zakat yang telah terkumpul dapat tersalurkan dengan baik.
 
Melihat kisah Umar bin Khattab di atas dapat kita renungkaan, bahwa Umar sebagai pemimpin mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk kemaslahatan umat. Ia bukan hanya menjalin silaturahmi kepada lingkungannya saja, akan tetapi seluruh lapisan masyarakat. Ia berkeliling meninjau wilayahnya bukan hanya sesekali, justru sangat sering melakukannya.
 
Karena kebiasaannya meninjau langsung akhirnya mempertemukan Umar dengan calon menantunya yang merupakan pertalian kepada keturunannya Umar Bin Abdul Aziz. Dikisahkan pada suatu malam Umar bin Khattab berkeliling memantau keadaan rakyatnya. Di masa itu, Umar bin Khattab telah memberlakukan aturan yang melarang rakyat untuk mencampur susu dengan air. Karena hal itu sangat merugikan produsen yang berlaku jujur. Dan ketika ia berkeliling, tibalah ia pada suatu rumah yang ternya milik penjual susu. Terdengar olehnya pembicaraan Ibu dan anak yang bersiap-siap untuk mengemas susu untuk dijual keesokan hari.
 
Si ibu berkata"Anakku, campurkan air ke dalam susu itu agar jumlah takarannya banyak,". Anaknya menjawab “Ibu, bukankah Khalifah Umar telah mengeluarkan larangan untuk mencampur susu dengan air ?". Sang ibu pun berujar "Biarkan saja, amirul mu'minin tidak akan tahu, di sini kan hanya ada kita berdua, dia tidak melihat maupun mendengar kita melakukan hal ini". "Wahai ibu, bukankah Allah SWT Maha Melihat dan Maha Mendengar? Meski Khalifah tidak tahu, bukankah Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu?” sahut anaknya. “Maafkan ibu anak,sesungguhnya ibu telah khilaf. Ibu bersyukur memiliki anak yang shalehah seperti dirimu” ujar si ibu.
 
Mendengar hal tersebut Amirul Mukminin pun tertegun, ia bergumam di dalam hati “Sungguh terpuji hati anak itu, siapakah dia? Dan di manakah ia berjualan?”. Umar pun dalam beberapa hari terus memantau keluarga tersebut. Menurut riwayat Umar pun pernah membelinya dan menguji kemurnian susu yang dijual oleh keluarga itu. Setelah mempertimbangkan dengan masak-masak, Umar memanggil putranya, Ashim Bin Umar. Umar lalu berkata, “Anakku, ketika aku ke suatu tempat, dan di sana aku menemukan sebuah keluarga. Di keluarga itu ada seorang anak gadis yang sangat jujur. Maka ayah berharap agar kamu untuk menikahinya, Insya Allahkamu bersamanya dapatmelahirkan keturunan yang jujur dan adil”.
 
Singkat cerita, Ashim bin Umar pun menyutujui menikahi wanita jujur tersebut. Dari pernikahan tersebut, lahirlah anak perempun yang diberi nama Ummu Ashim. Ketika dewasa Ummu Ashim dinikahi seseorang yang bernama Abdul Aziz bin Marwan, yang kemudian dari pernikahan mereka lahirlah Umar bin Abdul Aziz.
 
Umar bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah dari tahun 99 H hingga 101 H. Ketika beliau diberi amanah menjadi Khalifah ia menangis dan tak lama kemudian pingsan. Ketika siuman sahabat dan masyakat bertanya mengapa hal itu terjadi, ia pun menyatakan, bahwa beban kewajiban bagaikan ribuan gunung yang diletakan kepundaknya, padahal untuk mengurus diri sendiri pun ia merasa belum mampu. Begitu takutnya beliau jika tidak dapat menjalankan amanah dengan baik, karena seluruh amanah yang diemban akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di hari pembalasan.
 
Begitu hati-hatinya Umar Bin Abdul Aziz di dalam menjalankan pemerintahan. Ia menerapkan prinsip kejujuran serta selalu bertanggung jawab.Rasa takutnya kepada Allah demikian besarnya, sama halnya Umar bin Khattab leluhurnya. Rasa takut tersebut memotivasinya untuk selalu jujur dan bekerja dengan jauh lebih baik.
 
Pada suatu ketika, pintu ruang kerja Umar Bin Abdul Aziz diketuk di waktu malam yang cukup larut. Setelah tamu itu ,mengucapkan salam, dan dijawab olehnya, Umar pun bertanya “Siapa di luar?”. Dan langsung mendapat jawaban “ ini aku anakmu Ayah”.Umar pun bertanya kembali “Ada apa anakku”?, “Ada sesuatu hal yang ingin kubicarakan padamu ayah” sahut anaknya. Kembali Umar bertanya “Engkau ingin membicarakan urusan apa? Urusan negara atau urusan keluarga?”. “Tentu saja aku ingin membicarakan urusan keluarga” jawab anaknya lagi dengan nada sedikit jengkel karena sang ayah tak kunjung membukakan pintu”. Sang Khalifah pun berkata “Baiklah, tunggu sebentar”, lalu ia pun segera mematikan pelita yang menyala sehingga ruangan pun menjadi gelap gulita.
 
Ketika pintu dibuka dan anaknya dipersilahkan masuk, anaknya terheran-heran dan bertanya kepadanya “Wahai ayah, pelita di ruangan ini ayah padamkan, sehingga kita harus berbicara di dalam keadaan gelap seperti ini?. Khalifah pun menjawab “Anakku, itu lah kenapa aku bertanya kepadamu sebelum mengizinkanmu masuk, apakah urusan negara atau urusan negara? Dan engkau menjawabnya urusan keluarga, maka kumatikan saja pelita ini”. “Mengapa pula seperti itu Ayah?” tanya anaknya lagi. Umar pun menjawab “anakku, sesungguhnya pelita yang menerangi ruangan kerjaku ini merupakan pelita milik negara. Sedangkan minyaknya dibiayai dari pajak negara. Tentunya ayah harus mempergunakannya untuk keperluan negara saja, jika di ruangan ini ada pelita milikku, tentu aku akan lebih memilih mempergunakan pelita milikku sendiri”
 
Dari kisah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz di atas dapat dipetik banyak hikmah yang patut jadi renungan kita semua. Seorang Umar Bin Khattab tegas dan keras menegakkan aturan Islam, tapi berjiwa lembut, dan takut terhadap murka Allah SWT. Umar Bin Abdul Aziz merupakan pribadi yang lembut, tapi penuh kehati-hatian dan menjaga kejujuran kerja. Kedua Umar di atas adalah sosok yang selalu menyalahi aturan-aturan Islam. Mereka berdua telah menjadi Khalifah yang dapat menerapkan bahwa segala tindak tanduk yang dilakukan di muka bumi ini selalu dilihat oleh Allah SWT.
 
Jika seseorang dapat menerapkan prinsip yang takut melakukan ketidakjujuran, takut tidak adil, dan terutama takut melanggar aturan Islam, Insya Allah seseorang itu ada pribadi yang teguh dan dapat dipercaya, baik sebagai pekerja (karyawan) biasa, maupun sebagai seorang pemimpin. Apakah anda dapat menjadi seperti mereka? (Adr)