Keutamaan dan manfaat puasa enam
hari di bulan Syawwal
Suasana bahagia dalam perayaan hari
raya idul fithri tidak perlu melalaikan umat Islam dari menjaga kontinuitas
amal mereka. Itulah pesan yang diangkat oleh para khatib pada khutbah di hari
Jum’at pertama di bulan Syawal ini. Shaum Ramadhan yang telah ditunaikan selama
sebulan penuh tidak menutup kemungkinan memiliki berbagai kekurangan. Untuk
itu, shaum sunah selama enam hari di bulan Syawal adalah salah satu amalan
utama untuk menyempurnakan pahalanya.
Anjuran melaksanakan shaum sunah
selama enam hari di bulan Syawal dijelaskan dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ
الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ
شَوَّالٍ ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Dari Abu Ayyub Al-Anshari RA
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan
kemudian ia lanjutkan dengan melakukan shaum enam hari di bulan Syawwal, maka
seakan-akan ia melakukan shaum setahun penuh.”(HR. Ahmad, 5/417, Muslim no.
1164, Abu Daud no. 2433, At-Tirmidzi no. 759, dan Ibnu Majah no. 1716)
Keutamaan shaum sunah enam hari
bulan Syawwal
Hadits di atas menjelaskan bahwa
pahala shaum Ramadhan bila dilanjutkan dengan pahala shaum enam hari di bulan
Syawwal adalah seperti pahala shaum satu tahun penuh. Dalam hadits lain
dijelaskan lebih lanjut bahwa hal itu dikarenakan setiap amal kebajikan dilipat
gandakan (minimal) sepuluh kali.
عَنْ ثَوْبَانَ، مَوْلَى رَسُولِ
اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ
أَنَّهُ قَالَ : مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ
السَّنَةِ {مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا}
Dari Tsauban RA maula Rasulullah SAW
dari Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa melakukan shaum enam hari setelah
idul fitri maka shaumnya menjadi sempurna satu tahun penuh. Allah
berfirman, ‘Barangsiapa melakukan sebuah kebajikan maka baginya balasan
sepuluh kali lipatnya.’ (QS. Al-An’am (6): 160)” (HR. An-Nasai dalam
As-Sunan Al-Kubra no. 2861 dan Ibnu Majah no. 1715)
Dalam riwayat Ad-Darimi dengan
lafal,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ
بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ
تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةٍ
“Barangsiapa melakukan shaum
Ramadhan maka satu bulan bulan (shaum Ramadhan) semisal dengan sepuluh bulan,
dan shaum enam hari setelah idul fitri menjadikannya sempurna satu tahun.”
(HR. Ad-Darimi no. 1755)
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dengan
lafal,
صِيَامُ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ
أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ السِّتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ، فَذَلِكَ صِيَامُ
السَّنَةِ
“Shaum Ramadhan itu sebanding
dengan shaum sepuluh bulan, dan shaum enam hari Syawal itu sebanding dengan
shaum dua bulan. Maka genaplah seperti shaum setahun penuh.” (HR. Ibnu
Khuzaimah no. 2115)
Manfaat shaum sunah enam hari di bulan Syawwal
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali
menerangkan beberapa manfaat shaum enam hari di bulan Syawwal, yaitu sebagai
berikut:
- Shaum enam hari di bulan Syawwal menggenapkan pahala shaum Ramadhan menjadi pahala shaum satu tahun penuh.
- Kedudukan shaum sunah di bulan Sya’ban dan Syawwal terhadap shaum Ramadhan adalah seperti kedudukan shalat sunah Rawatib (qabliyah dan ba’diyah) terhadap shalat wajib lima waktu. Shaum sunah tersebut menyempurnakan kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan shaum wajib Ramadhan.
- Melakukan shaum kembali seusai melaksanakan shaum Ramadhan merupakan pertanda diterimanya shaum Ramadhan seorang hamba. Jika Allah SWT menerima amal shalih seorang hamba, maka Allah SWT akan memberi petunjuk kepada hamba tersebut untuk melakukan amal shalih lainnya. Sebagaimana sering dikatakan oleh para ulama, “Balasan bagi sebuah amal kebajikan adalah amal kebajikan lainnya.” Barangsiapa melakukan amal kebajikan lalu ia lanjutkan dengan amal kebajikan lainnya, maka hal itu menjadi pertanda amal kebajikan pertamanya telah diterima dan diberkahi oleh Allah. Adapun jika amal kebajikan diikuti oleh amal keburukan, maka hal itu adalah sinyal buruk tertolaknya amal kebajikan tersebut.
- Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits shahih, shaum Ramadhan yang dilakukan atas dasar iman dan mengharap balasan di sisi Allah semata akan menghapus dosa-dosa kecil yang telah lalu. Pada hari idul fitri, Allah menyempurnakan pahala bagi orang-orang yang shaum. Maka shaum enam hari di bulan Syawwal adalah wujud dari syukur kepada Allah atas dua nikmat besar tersebut; (a) nikmat shaum Ramadhan yang penuh berkah dan maghfirah dan (b) nikmat balasan pahala di hari idul fithri. Allah SWT telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat shaum Ramadhan dengan mengumandangkan dzikir, takbir, dan bentuk-bentuk syukur lainnya. Allah SWT berfirman,
{وَلِتُكْمِلُواْ
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ}
“Hendaklah kalian menyempurnakan
bilangan (bulannya) dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepada kalian dan
agar kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah (2): 185)
Sebagian ulama salaf apabila diberi
nikmat mampu melaksanakan shalat tarawih dan witir di malam hari, maka
mereka mengungkapkan wujud syukur atasnya dengan melakukan shaum sunah di siang
harinya.
Seorang ulama yang shalih, Wuhaib
bin Ward pernah ditanya tentang pahala amal kebajikan seperti thawaf dan
lainnya, maka ia menjawab, “Janganlah kalian bertanya tentang pahalanya!
Namun tanyakanlah kewajiban bersyukur atas orang yang melakukan amal kebajikan
tersebut, karena Allah telah memberinya taufik dan pertolongan untuk mampu
beramal kebajikan.”
Setiap nikmat Allah kepada seorang
hamba baik dalam urusan agama maupun dunia menuntut adanya rasa syukur. Adanya
taufik dari Allah kepada seorang hamba untuk mensyukuri nikmat tersebut juga
merupakan sebuah nikmat tersendiri yang harus disyukuri. Dan taufik dari Allah
untuk mensyukuri nikmat kedua ini adalah nikmat tersendiri pula yang wajib
disyukuri. Maka, selamanya seorang hamba tidak akan mampu mengungkapkan rasa
syukurnya secara sempurna kepada Allah. Pada hakekatnya, syukur adalah
pengakuan seorang hamba atas ketidak mampuannya untuk menghitung dan mensyukuri
seluruh nikmat Allah kepadanya.
Beberapa hukum yang berkaitan dengan
shaum enam hari bulan Syawwal:
Pertama; Dianjurkan segera melaksanakan shaum enam hari di bulan
Syawwal selama tidak ada udzur syar’i, karena hal itu termasuk bagian dari
bersegera melaksanakan amal kebajikan. Sebagaimana firman Allah SWT,
( وَسَارِعُواْ
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ)
“Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.”
(QS. Ali Imran (3): 133)
( سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن
رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاء وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ
لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن
يَشَاء وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ)
“Berlomba-lombalah kalian kepada
(mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan
bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar.”
(QS. Al-Hadid (7): 21)
Kedua; Shaum enam hari di bulan Syawwal boleh dikerjakan secara
berturut-turut, boleh juga dilaksanakan secara terpisah-pisah. Hal itu karena
Nabi SAW menyebutkan shaum tersebut secara mutlak tanpa menyebutkan tata cara
pelaksanaannya secara berturut-turut atau terpisah-pisah. Maka selama shaum
tersebut dikerjakan selama enam hari di bulan Syawal, niscaya keutamaan yang
disebutkan dalam hadits telah diraih oleh seorang hamba.
Ketiga; Jika pada sebuah tahun seorang muslim melaksanakan shaum
enam hari di bulan Syawwal, maka ia tidak wajib mengerjakan shaum enam hari di
bulan Syawwal pada tahun lainnya. Meski demikian, dianjurkan untuk
mengerjakannya secara rutin setiap bulan Syawal pada setiap tahun, berdasar
keumuman hadits,
أَحَبُّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللهِ
أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai
Allah adalah amalan yang paling rutin walau kadarnya sedikit.” (HR. Bukhari
dan Muslim dari Aisyah RA)
Keempat; Shaum enam hari di bulan Syawwal dan shaum sunah lainnya
yang waktunya tertentu (Senin dan Kamis, ‘Asyura, Arafah) haruslah disertai
oleh niat shaum di waktu malam. Berdasar hadits,
عَنْ حَفْصَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ
صِيَامَ لَهُ
Dari Hafshah RA dari Nabi SAW
bersabda, “Barangsiapa tidak berniat untuk shaum sebelum terbit fajar maka
tiada shaum baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmidzi no. 730,
An-Nasai, 4/196 dan Ibnu Majah no. 1700)
Adapun shaum sunah secara mutlak
yang tidak ditentukan waktunya, maka tidak wajib berniat sebelum terbit fajar.
Niat shaum boleh dilakukan setelah Shubuh sampai pertengahan hari. Demikian
pendapat imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad.
Hal ini berdasar hadits dari Aisyah
RA berkata, “Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk ke rumah menemuiku dan
bertanya, ‘Apakah engkau memiliki suatu makanan?’ Aku menjawab, “Tidak.”
Beliau bersabda, “Kalau begitu aku akan shaum.” Pada hari yang lain,
beliau datang kepada saya maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini
telah dihadiahkan kepadaku hais (bubur campuran tepung, minyak samin, dan
kurma).” Beliau bersabda, “Tunjukkan kepadaku! Aku tadi sedang shaum.” Maka
beliau pun makan. (HR. Muslim no. 1451)
Adapun imam Malik, Laits bin Sa’ad,
dan Ibnu Hazm berpendapat baik shaum fardhu maupun shaum sunah, shaum sunah
yang ditentukan waktunya (muqayyad) maupun shaum sunah yang tidak ditentukan
waktunya (mutlak); wajib disertai niat shaum sebelum terbit fajar, berdasar
keumuman hadits Hafshah RA.
Kelima; Apabila seorang muslim mampu menyelesaikan shaum enam hari di
bulan Syawwal, maka itu lebih utama. Namun apabila ia tidak mampu
mengerjakannya secara sempurna enam hari, maka ia tidak berdosa.
Hal ini berdasar hadits dari Aisyah
RA berkata, “Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk ke rumah menemuiku dan
bertanya, ‘Apakah engkau memiliki suatu makanan?’ Aku menjawab, “Tidak.”
Beliau bersabda, “Kalau begitu aku akan shaum.” Pada hari yang lain,
beliau datang kepada saya maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini
telah dihadiahkan kepadaku hais (bubur campuran tepung, minyak samin, dan
kurma).” Beliau bersabda, “Tunjukkan kepadaku! Aku tadi sedang shaum.” Maka
beliau pun makan. (HR. Muslim no. 1451)
Juga berdasar hadits dari Abu
Juhaifah bahwa Abu Darda’ dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW dengan Salman
Al-Farisi. Setiap kali Salman Al-Farisi berkunjung kepada Abu Darda’,
didapatinya Abu Darda’ sedang shaum sunnah. Maka Salman menolak menyentuh
suguhan makanan sampai Abu Darda’ mau ikut makan. Terpaksa Abu Darda’ makan dan
membatalkan puasanya. Abu Darda’ juga semalam suntuk melakukan shalat malam.
Maka Salman menyuruhnya tidur lalu bangun di akhir malam. Salman menaseatinya,
“Sesungguhnya Rabbmu punya hak atas dirimu, badanmu punya hak atas dirimu, dan
keluargamu punya hak atas dirimu. Maka berikanlah kepada setiap pihak haknya
masing-masing.” Abu Darda’ RA dating kepada Nabi SAW dan menceritakan peristiwa
itu, maka Nabi SAW bersabda, “Salman sudah berbuat benar.” (HR. Bukhari no.
1968)
Dalam hadits lain dijelaskan,
( الصائم
المتطوع أمير نفسه إن شاء صام وإن شاء أفطر)
“Orang yang melakukan shaum
sunnah itu lebih berkuasa atas dirinya sendiri. Jika mau maka ia melakukan
shaum dan jika ia mau maka ia boleh tidak melakukan shaum.” (HR. Imam
Tirmidzi no. 733, An-Nasai dalam As-sunan Al-Kubra no. 3302, dan Ahmad 6/341.
An-Nawawi berkata: Sanadnya bagus)
Keenam; Jika seseorang melakukan shaum sunah di bulan Syawwal namun
belum genap enam hari, atau shaumnya batal di tengah pelaksanaan shaum
tersebut; maka ia tidak wajib menggantinya setelah Syawwal. Berdasar keumuman
tiga hadits dalam penjelasan no. 5 di atas.
Ketujuh; Jika seorang muslim memiliki hutang shaum Ramadhan, maka
lebih utama ia membayar hutang shaum Ramadhan terlebih dahulu baru kemudian
melaksanakan shaum enam hari di bulan Syawal. Sebab, shaum yang wajib lebih utama
untuk didahulukan atas shaum yang sunah.
Kelapan; Para ulama berbeda pendapat tentang seseorang yang
melaksanakan shaum enam hari di bulan Syawal terlebih dahulu padahal ia belum
membayar hutang shaum Ramadhan.
- Sebagian ulama menyatakan zhahir hadits Abu Ayub Al-Anshari menunjukkan bahwa pahala seperti shaum setahun hanya diperuntukkan bagi orang yang melakukan shaum Ramadhan dan shaum enam hari di bulan Syawal. Mafhum (makna tersirat)nya), jika ia memiliki hutang shaum Ramadhan dan tidak ia bayar terlebih dahulu, maka ia tidak akan mendapatkan janji pahala shaum setahun tersebut meski ia menunaikan shaum enam hari di bulan Syawal. Pendapat ini dipegangi oleh imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj bi-Syarhil Minhaj dan imam Ibnu Muflih Al-Hambali dalam kitabnya Al-Furu’. Pendapat ini diikuti oleh sejumlah ulama kontemporer, di antaranya syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz dan syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
- Sebagian ulama menyatakan apabila seseorang memiliki hutang shaum Ramadhan karena udzur seperti sakit keras, haidh, atau safar; lalu ia melakukan shaum enam hari di bulan Syawal sebelum membayar hutang shaum Ramadhannya, maka ia tetap mendapat pahala shaum setahun penuh. Alasannya, orang yang tidak melakukan shaum Ramadhan selama beberapa hari karena udzur-udzur syar’i di atas dalam syariat dan kebiasaan luas yang berkembang di masyarakat (‘urf) juga disebut melakukan shaum Ramadhan. Pendapat ini disebutkan oleh imam Al-Bujairimi Asy-Syafi’i dalam kitabnya, Hasyiyah ‘alal Jamal dan imam Muflih Al-Hambali dari sebagian ulama madzhab Hambali dalam kitabnya, Al-Mubdi’.
Seperti dijelaskan oleh syaikh
Muhammad bin Abdullah bin Shalih Al-Habdan, pendapat yang kedua lebih dekat
kepada kebenaran. Pendapat kedua lebih sesuai dengan dalil syar’i dan
kaedah-kaedah syari’at. Sesungguhnya keutamaan shaum Ramadhan yang sama
nilainya dengan shaum sepuluh bulan bukan hanya berlaku bagi orang yang
melaksanakan shaum Ramadhan secara langsung sebulan penuh tanpa memiliki hutang.
Keutamaan tersebut berlaku bagi setiap muslim yang menyempurnakan shaum
Ramadhan baik secara langsung satu bulan maupun bagi orang yang membayar hutang
beberapa hari shaum Ramadhannya karena ia memiliki udzur syar’i.
Sementara Allah SWT sendiri telah
memberi kelonggaran waktu pembayaran hutang shaum Ramadhan bagi orang-orang
yang memiliki udzur syar’i. Hutang shaum boleh dibayar pada waktu lain selama
sebelas bulan sebelum datangnya Ramadhan berikutnya, seperti ditunjukkan oleh
keumuman isim nakirah dalam konteks syarat (فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ pada hari-hari yang lain). Hutang shaum tersebut tidak harus
dibayar langsung pada bulan Syawwal.
Allah SWT berfirman,
﴿ فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ﴾
“Dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya mengganti shaum), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.”
(QS. Al-Baqarah (2): 185)
Berbeda halnya dengan shaum enam
hari di bulan Syawwal, harus dilakukan di bulan Syawal. Jika telah lewat bulan
Syawwal, maka keutamaan pahala yang dijanjikan juga tidak berlaku lagi. Oleh
karenanya, sesuai ayat Al-Qur’an di atas dan ayat-ayat lainnya, orang yang
melakukan shaum enam hari di bulan Syawwal akan tetap mendapatkan pahalanya,
meskipun ia belum membayar hutang shaum Ramadhannya.
Pahala shaum setahun penuh akan
tetap ia dapatkan, karena tidak ada dalil syar’i yang menyatakan hilangnya
pahala tersebut atas orang yang belum membayar hutang shaum Ramadhannya.
Argumen pendapat pertama tentang gugurnya pahala tersebut bagi orang yang belum
membayar hutang shaum Ramadhan adalah mafhum (makna tersirat) hadits Abu
Ayub Al-Anshari, dan pemaaman mafhum tersebut gugur dengan adanya manthuq
(makna tersurat) dari ayat Al-Qur’an.
Wallahu a’lam bish-shawab.